16 Apr
Mari bermain tanah liat bersama anak

Bermain tanah liat ternyata bisa mengundang kenikmatan tersendiri. Kenikmatan itu muncul ketika seseorang berhasil menggali ekspresi dalam diri. Dalam pengungkapan ekspresi tentu butuh derajat kebebasan yang tak terbatas. Dari situ tercipta keramik berseni tinggi. Malah, bukan cuma itu bermain tanah liat diakui bisa jadi latihan kepekaan diri.

Anak bermain tanah liat”Awas, hati-hati memotong dasarnya. Coba cek dulu ketebalannya.” Instruksi ini mengalir ketika Keng Sien mengawasi salah seorang peserta kursus membuat keramik. Setelah selesai membentuk tanah liat menjadi sebuah bejana, si murid ingin melepaskan hasil karyanya itu dari tatakan tripleks. Karena tak ingin gagal, ada keraguan menyelimuti diri. Melihat gelagat itu, dengan sigap Keng Sien mencontohkan pemotongan.
Buat Keng Sien kesibukan ini bukan sesuatu yang aneh. Sejak 1992, ia mendirikan bengkel kerja (workshop) keramik Appelsien di Jalan Lombok, Jakarta Pusat. Dari sini, Keng Sien coba menularkan ilmu membuat keramik kepada awam.
Lokasi kursus bermain tanah liat ini tidak seberapa luas, cuma tiga kali tiga meter saja. Sudah begitu, ruangan ini masih harus dibagi dengan beragam contoh keramik setengah jadi, perlengkapan membuat keramik dan beberapa meja. Karena di bagian belakang dan depan ruangan tak memakai dinding pembatas, kesan sumpek pun amat jauh.
Keng Sien tampak sedang mengajari empat murid di Appelsien. Satu laki-laki dan tiga perempuan. Semuanya asyik berkutat dengan tanah liat. Ada yang sibuk membuat dekorasi, ada juga yang bersiap memindahkan hasil karyanya dari tatakan tripleks.
”Sejak awal, saya buka kursus bukan untuk komersial kok. Tujuan utamanya mencari bibit baru dalam dunia ini (keramik),” sebut pria kelahiran Jakarta 20 Desember 1954 ini. Itu sebabnya, dalam satu bulan jumlah murid-muridnya tak pernah melewati hitungan sepuluh jari. ”Kebetulan aja, bulan (April) ini pesertanya lumayan, ada sepuluh orang.” Tapi kalau ditotal, dari 1992 Keng Sien sudah menghasilkan 600 murid yang terbantu menjadi lebih mandiri di masa krisis moneter.
Keng Sien pun tak pernah woro-woro soal kursus membuat keramik ini. Informasi dari mulut ke mulut adalah cara efektif menyebutkan di mana tempat kursus itu. 

Metoda Bermain

Belakangan, bermain tanah liat makin diminati kaum hawa. Kegiatan yang mulanya hanya digeluti industri rumah tangga ini merambah ke masyarakat biasa. Bahkan pesertanya bukan melulu orang dewasa, anak-anak pun mulai menggemari pembuatan aneka barang seperti asbak, gelas atau hiasan.
Dari sekian muridnya, Keng Sien menganggap belum ada yang berhasil. Ini terjadi karena kebanyakan muridnya dihinggapi kebiasaan serba instan, mau cepat bisa tanpa usaha keras. Malah, banyak juga yang tak bangga dengan hasil karyanya sendiri.
”Itu sama saja dia belum memahami arti proses,” kritik seniman keramik angkatan F. Widayanto, Hilda, Lidya, Suyatna dan Bony Surya itu. Bermain tanah liat hingga menghasilkan sebuah karya (keramik) adalah sebuah proses. Sebetulnya ini proses sederhana, memindahkan tanah liat dari bumi sampai berada di dalam ruangan. Hanya saja, dalam proses itu butuh ketekunan, kesabaran dan pengendalian emosi.
Karena sebuah proses, peserta kursus pun diberi kebebasan berkreativitas. Apa saja bisa dituangkan di sini, mau membuat benda seni atau yang ingin digunakan sehari-hari. ”Saya tak pernah membakukan keramik,” tegas seniman keramik intelektual yang aktif membawa ungkapan misi pada karya-karyanya. Itu sebabnya ia sendiri selalu mementingkan untuk menyelipkan unsur cerita di balik karya-karya keramiknya. Karyanya lebih diutamakan sebagai media ekspresi yang sekaligus indah sebagai hiasan.
Dalam setiap kursus, Keng Sien punya metoda yang simpel. Pada tahap awal, murid akan dikenalkan pada seluk-beluk keramik dan merasakan tanah liat. Langkah berikut, mengaktifkan sepuluh jari. Disambung, pengenalan api yang diikuti melihat proses pembakaran. ”Bila cukup cepat, berikutnya teknik mengglasir.” Namun, ia menekankan pada pentingnya mengaktifkan sepuluh jari dalam bermain tanah liat.
Untuk satu bulan kursus, Keng Sien memungut ”SPP” 650 ribu perak pada tiap murid. Selama 16 jam tatap muka dilakukan pertemuan efektif di studio Appelsien, termasuk praktik dan teori.
Bila semuanya berjalan lancar, Keng Sien juga akan menurunkan ilmu merintis pendirian studio keramik hingga manajemen produksi. Tak ketinggalan, falsafah dalam bermain tanah liat bahwa keramik itu terdiri dari lima unsur alami bumi, yaitu tanah liat, api, logam, kayu dan air. Kalau semua itu diikuti, kepekaan diri terhadap lingkungan sekitar akan tumbuh. 

Adonan clay yang sudah jadi

Bebas Berekspresi

Kebebasan berekspresi dalam bermain tanah liat juga dialami Liliana, keramikus dari Studio Keramik Teratai, Bekasi. Ketertarikannya pada dunia keramik lebih banyak dipicu dari kebebasan itu. ”Buat saya, keramik itu lebih hidup dan dalam mengungkapkan inspirasi juga lebih masuk,” tutur wanita asal Solo yang akrab disapa Lili ini.
Selama berkutat dengan media tiga dimensi ini, Lili mengaku lebih puas dalam menampilkan karakter sebuah karya seni. Dari situ, energi ekspresi diri lebih tercurah. ”Saya juga senang melukis, tapi saya merasa lebih ekspresif kalo sudah bermain tanah liat.”
Tantangan lainnya adalah kesabaran. Menurut Lili, uji kendali emosi ini menjadi sangat penting ketika sudah berhadapan dengan tanah liat. Dalam prosesnya menjadi sebuah karya keramik, tanah liat harus menjalani beberapa tahapan. Tentu saja, semua itu makan waktu. ”Justru di sinilah kesabaran seseorang diuji.”
Tanah liat yang menjadi bahan keramik harus diolah terlebih dulu. Kata Lili, bongkahan tanah liat sebelumnya direndam selama dua sampai tiga hari lalu diaduk dalam sebuah bak batu bata. Setelah jadi lumpur, proses selanjutnya penyaringan. Hasilnya tanah liat diendapkan kemudian dikeringkan sampai bisa diuleni. ”Kalau sudah, tanah liat ini bisa disimpan dalam kantong plastik dan didiamkan selama satu bulan.”
Pada saat pembentukan, kesabaran kembali diuji. Tanah liat yang sudah dibentuk dengan teknik putar, slab, coil atau cetak itu tak bisa buru-buru dinyatakan selesai. Masih ada tahap pembakaran dan pengglasiran. Pembakaran saja dilakukan dua kali, pertama pada suhu 900 derajat C dan sekitar 1.200 derajat C.
Kadangkala dari perjalanan tahapan tadi, muncul rasa kejutan-kejutan unik dalam diri. Ini yang dirasakan Evy Yonathan. Lulusan Travel & Tourism di National Business College, Virgnia USA 1994, ini mengaku amat menikmati kejutan yang dihasilkan dari pembakaran tanah liat dan pengglasiran. Ketika menunggu hasil bakaran rasanya lama sekali, ia ingin cepat-cepat melihat hasilnya. Sering terjadi kegagalan, hasilnya berbeda dengan yang direncanakan. Tak jarang, tekstur dan warna yang keluar lebih menarik, dan menghasilkan kejutan-kejutan lain yang dirasakannya sangat menarik.
Kejenuhannya pada pekerjaan yang telah digelutinya selama lima tahun, membuat Evy beralih ke keramik. Dia pun mencoba mengikuti kursus keramik, yang ternyata sangat dinikmatinya. Proses berkreasi yang bervariasi dalam pembuatan keramik sangat mengasyikkan. Ujung-ujungnya, memunculkan sensasi tersendiri dalam diri.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.
I BUILT MY SITE FOR FREE USING